Analisis Pengaruh Profitabilitas Industri, Rasio Leverage Keuangan Tertimbang dan Intensitas Modal Tertimbang serta Pangsa Pasar

Cyrillius Martono; Staf Pengajar Fakultas Ekonomi - Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Studi ini meneliti empat proksi rasio-rasio persaingan yang mempengaruhi profitabilitas perusahaan. Proksi tersebut meliputi profitabilitas industri, rasio leverage keuangan tertimbang, rasio intensitas modal tertimbang dan pangsa pasar. Penelitian ini menggunakan data laporan keuangan perusahaan manufaktur yang gopublic di Indonesia sejak 1994-1997 dengan total sampel per tahun sebanyak 41 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan menggunakan pooling data. Uji t dan uji F digunakan untuk menguji hipotesis penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, tiga variabel, yaitu ROA industri, intensitas modal tertimbang, dan leverage keuangan tertimbang terbukti berpengaruh signifikan terhadap ROA perusahaan. Kedua, tiga variabel, yaitu ROE industri, leverage keuangan tertimbang, dan pangsa pasar terbukti berpengaruh signifikan terhadap ROE. Ketiga, berdasarkan nilai R2, hasil analisis regresi ROE lebih robust dibandingkan hasil analisis regresi ROA. Keempat, profitabilitas industri terbukti superior dalam menjelaskan ROA, sedangkan variabel yang superior dalam menjelaskan ROE adalah rasio leverage keuangan tertimbang.
Kata kunci: Return on assets, return on equity, rasio industri.
Perkembangan industri manufaktur memicu perkembangan sektor industri jasa dan perdagangan, perkembangan industri yang pesat membawa implikasi pada persaingan antar perusahaan dalam industri. Perusahaan dituntut untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerjanya agar tetap bertahan dalam masa krisis maupun persaingan yang semakin ketat.
Kinerja perusahaan pada akhir periode harus dievaluasi untuk mengetahui perkembangan perusahaan. Proses evaluasi memerlukan standar tertentu sebagai dasar perbandingan. Standar yang digunakan dapat bersifat internal atau eksternal. Standar internal pada umumnya mengacu pada perbandingan kinerja perusahaan saat ini dengan periode sebelumnya. Standar eksternal mengacu pada competitive benchmarking yang merupakan proses perbandingan kinerja perusahaan dengan pesaing utama atau industri (Wright et al. 1996). Pendekatan competitive benchmarking harus dilakukan secara hati-hati agar hasil evaluasi kinerja perusahaan dapat berguna untuk pemetaan posisi perusahaan dalam persaingan industri.
Evaluasi kinerja perusahaan dengan mengacu pada standar eksternal melalui competitive benchmarking memberikan gagasan untuk mengembangkan analisis rasio keuangan perusahaan individual dengan mempertimbangkan rasio industri. (Beard dan Dess 1979) mengukur rasio keuangan tersebut melalui perbandingan rasio keuangan perusahaan individual dibagi rasio industri. Rasio industri dalam penelitian tersebut merupakan penimbang dari rasio keuangan individual. Rasio ini untuk selanjutnya disebut sebagai rasio keuangan tertimbang. Penyebutan ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan rasio keuangan tradisional.
Analisis kinerja perusahaan individual dengan menggunakan pendekatan industri sangat relevan dalam persaingan industri, karena kinerja perusahaan tidak hanya dipengaruhi kegiatan internalnya. Kemampuan perusahaan dalam mempertahankan posisinya dalam persaingan industri seringkali juga berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan yang bersangkutan.
Salah satu indikator penting dalam persaingan industri adalah daya tarik bisnis (business attractiveness). Dalam matriks portofolio Boston Consulting Group (BCG), daya tarik bisnis tercermin dari sumbu (axis) vertikal. Indikator daya tarik bisnis tersebut dapat diukur dari profitabilitas industri (seperti ROA dan ROE industri). Semakin tinggi rasio ini akan menarik pendatang baru untuk masuk dalam industri. Dari sudut pandang teori ekonomi mikro, bahwa dalam situasi kondisi persaingan, rate of return akan cenderung mengarah pada keseimbangan (equality). Jadi daya tarik bisnis yang semakin tinggi akan mendorong pendatang baru untuk masuk dalam industri sehingga laba abnormal tersebut lambat laun akan kembali menurun menuju laba normal. Demikian juga sebaliknya bila profitabilitas industri cenderung turun, akan menyebabkan tidak menarik bagi pendatang baru, atau bahkan ditinggalkan oleh sebagian perusahaan, sehingga laba yang rendah lambat laun meningkat kembali menuju laba normal. Laba normal yang dimaksudkan di sini adalah laba yang mencerminkan keseimbangan rate of return.
Indikator lain dalam persaingan industri adalah posisi relatif perusahaan dalam persaingan industri. Dalam matriks portofolio BCG, daya tarik bisnis tercermin dari sumbu (axis) horisontal. Indikator posisi relatif perusahaan dalam persaingan industri dapat diukur dari pangsa pasar (market share). Semakin tinggi pangsa pasar mencerminkan semakin tinggi kekuatan perusahaan dalam persaingan pasar. Pada dasarnya, seluruh aktivitas perusahaan lebih banyak bersifat pengeluaran, sedangkan penjualan merupakan unsur penerimaan. Jadi semakin besar pangsa pasar atau semakin tinggi penjualan relatif perusahaan dalam industri berarti semakin tinggi penerimaan perusahaan yang merupakan komponen penting dalam perhitungan laba perusahaan.
(Commanor dan Wilson 1967), serta (Porter 1979) mengemukakan bahwa dalam mempelajari persaingan industri, hal penting yang perlu diperhatikan adalah tingkat hambatan untuk keluar masuk industri (barrier to entry). Penggunaan rasio intensitas modal (capital intensiveness) yang diukur dari total aktiva terhadap penjualan sebagai indikator barrier to entry. Semakin tinggi rasio intensitas modal menjadi semakin tidak menarik bagi pendatang baru untuk masuk industri. Hal tersebut karena dibutuhkan lebih banyak aset untuk menghasilkan setiap unit penjualan.
Dari sudut pandang manajemen keuangan, rasio leverage keuangan merupakan salah satu rasio yang banyak dipakai untuk meningkatkan (leveraged) profitabilitas perusahaan. Rasio leverage keuangan membawa implikasi penting dalam pengukuran risiko finansial perusahaan. Pengembangan analisis pendekatan tradisional ke pendekatan industri menunjukkan dalam menentukan setiap aktivitasnya perusahaan harus memperhatikan atau membandingkannya dengan aktivitas yang dilakukan oleh pesaing (competitive benchmarking).
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari ROA industri, rasio leverage keuangan tertimbang, rasio intensitas modal tertimbang, dan pangsa pasar terhadap ROA perusahaan dan juga untuk mengetahui pengaruh dari ROE industri, rasio leverage keuangan tertimbang, rasio intensitas modal tertimbang, dan pangsa pasar terhadap ROE perusahaan manufaktur yang gopublic di Indonesia.

Selengkapnya download artikel jurnal perusahaan manufaktur Indonesia.
Download: Analisis Pengaruh Profitabilitas Industri, Rasio Leverage Keuangan Tertimbang dan Intensitas Modal Tertimbang serta Pangsa Pasar

Pengaruh Tingkat Disclosure terhadap Biaya Ekuitas

Juniarti; Faculty of Economics, Petra Christian University
Frency Yunita; Alumnus, Faculty of Economics, Petra Christian University

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh tingkat disclosure terhadap biaya ekuitas dan signifikansi pengaruh tersebut pada perusahaan yang sahamnya tergolong sebagai saham bluechip dan nonbluechip. Sebanyak tiga puluh perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang memenuhi kriteria yang ditetapkan diambil sebagai sampel. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil dokumentasi laporan keuangan dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan diolah dengan menggunakan uji statistik regresi berganda.
Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan tingkat disclosure terhadap biaya ekuitas. Namun penelitian ini gagal untuk membuktikan akan adanya perbedaan signifikansi pengaruh tingkat disclosure pada biaya hutang pada perusahaan yang sahamnya tergolong sebagai saham bluechip dan nonbluechip.
Kata kunci: Disclosure, Biaya ekuitas.
Pentingnya perbaikan sistem pelaporan keuangan dan disclosure dinyatakan oleh U.S. Securities and Exchange Commission (SEC), sebagaimana dikutip oleh Stanko (2001:21) dalam Business and Economic Review (BER) bahwa peranan pelaporan keuangan dan disclosure adalah untuk mengkomunikasikan informasi yang mendukung pengambilan keputusan bisnis termasuk keputusan investasi oleh investor. Oleh karena itu informasi yang disampaikan harus relevan, tepat waktu dan bernilai. Stanko (2001) juga mengatakan bahwa misi utama SEC dalam peraturan mengenai fair disclosure adalah untuk memproteksi investor dan mempertahankan integritas pasar sekuritas. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Healy dan Palepu (1993:9), yang menyatakan perlunya komunikasi yang lebih baik antara investor dan pihak manajemen dengan membangun strategi-strategi disclosure guna mengurangi adanya asimetri informasi yang timbul dalam hubungan kedua pihak.
Laporan keuangan merupakan signal untuk mengkomunikasikan informasi “penting” yang dimiliki manajemen perusahaan, misalnya perkiraan manajemen (Frankel et al. 1995:149) dan profitabilitas perusahaan (Kanodia dan Lee 1998:49). Laporan keuangan yang tidak memberikan tingkat disclosure yang memadai oleh sebagian investor dipandang sebagai laporan keuangan yang berisiko. Apabila investor menilai suatu perusahaan berisiko tinggi berdasarkan laporan keuangan yang dihasilkan, maka nilai return yang diharapkan oleh investor juga tinggi, yang pada gilirannya akan menyebabkan tingginya biaya ekuitas yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (Coles et al. 1995:362); (Clarkson et al. 1996:69,79)
Pengaruh tingkat disclosure terhadap biaya ekuitas ini, sebelumnya telah banyak diteliti, diantaranya oleh Financial Reporting of the American Institute of Certified Public Accountants (Jenkin Committee) sebagaimana dikutip oleh Botosan (1997:324) yang menyatakan bahwa keuntungan pentingnya disclosure adalah biaya yang rendah untuk equity capital. Demikian pula hasil penelitian yang disimpulkan oleh Botosan (1997:346) mendukung adanya hubungan negatif antara tingkat disclosure dan biaya ekuitas perusahaan. Meskipun memang pengaruh tingkat disclosure terhadap biaya ekuitas perusahaan dirasa kurang signifikan pada perusahaan yang menjadi pusat perhatian sejumlah besar analis keuangan.
Lang dan Lundholm (1996:490) menemukan bukti secara tidak langsung dari penelitiannya tentang adanya keuntungan potensial dari disclosure yang tinggi, selain banyak menarik investor juga mengurangi risiko estimasi dan asimetri informasi, di mana masing-masing menunjukkan pengurangan biaya modal. Levinsohn (2001) dalam artikelnya yang berjudul “FASB Weighs the Value of Voluntary Disclosure”, menyatakan hal yang sama mengenai hubungan negatif kedua faktor tersebut, yaitu bahwa voluntary disclosures yang informatif dapat membantu para investor untuk memahami strategi perusahaan dan critical success factor, kerangka kerja yang mendasari manajemen membuat keputusan serta langkah-langkah yang diambil perusahaan untuk memastikan kontinuitas hasil yang ditargetkan. Selain itu, dalam laporannya yang berjudul “Improving Business Reporting: Insighting into Enhancing Voluntary Disclosures”, yang merupakan bagian kedua dari Business Reporting Research Project, FASB (2001) mengatakan bahwa dasar pemikiran dari proyek ini adalah pengungkapan yang lebih baik akan membuat proses alokasi modal lebih efisien dan mengurangi biaya modal rata-rata.
Tidak selamanya bahwa disclosure yang tinggi akan menurunkan biaya hutang. Hal yang sebaliknya dapat terjadi, ketika perusahaan ternyata mempunyai banyak “masalah”, maka dengan tingkat disclosure yang tinggi, semakin banyak informasi yang riskan akan diketahui oleh investor sehingga investor meminta return yang tinggi dan akibatnya tingkat biaya ekuitas yang harus ditanggung oleh perusahaan semakin tinggi. Financial Executive Institute juga menyatakan bahwa bila informasi yang dilaporkan dalam disclosure tersebut adalah ditujukan pada pedagang saham (Stock Trader), maka hanya akan menambah ketidakstabilan harga saham, sehingga menaikkan risiko dan membawa biaya ekuitas yang lebih tinggi.
Meskipun masih mengundang perdebatan apakah disclosure yang tinggi akan menurunkan biaya ekuitas atau sebaliknya, tampaknya semua sepakat bahwa terdapat pengaruh tingkat disclosure yang cukup signifikan terhadap biaya ekuitas.
Menentukan tingkat disclosure atau pengungkapan laporan keuangan suatu perusahaan yang diduga berpengaruh terhadap tingkat biaya ekuitas perusahaan yang bersangkutan tidaklah mudah. Penelitian yang dilakukan oleh Chalmers et al. (2001:16), menyatakan bahwa tidak ditemukannya bukti yang mendukung bahwa pemenuhan mandatory GAAP disclosure mengacu pada biaya modal (cost of capital), khususnya biaya hutang (cost of debt).
Pengaruh tingkat disclosure terhadap biaya ekuitas adalah suatu masalah yang menarik dan penting bagi komunitas pelaporan keuangan. Berbagai penelitian lain yang meneliti pengaruh tingkat disclosure terhadap biaya modal dengan metode yang berbeda-beda dan pendekatan secara tidak langsung dilakukan oleh Komalasari dan Baridwan (2001), Leuz dan Verrechia (2000), Bloomfield dan Wilks (2000), Welker (1995), Marquardt dan Wiedman (1998), dan Hail (2001).

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi biaya,
Download: Pengaruh Tingkat Disclosure terhadap Biaya Ekuitas